Sabtu, 27 April 2019

Pemanfaatan Barang Gadai (Rahn)


MAKALAH
Pemanfaatan Gadai oleh Penerima Gadai
Disusun untuk memenuhi  Tugas Terstruktur
Mata kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
Drs. H. Mahfudz, M.Ag



Disusun oleh PAI-A/6
  kelompok 7:
Eha Siti Julaeha                              1608101007
Sintiya Rahayu                               1608101013
Jaenudin                                          1608101027
                                

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
TAHUN AKADEMIK 2018/2019





KATAPENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Terstruktur Mata kuliah Masail Fiqhiyah. Shalawat serta salam semoga Allah tetap melimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW., kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada kita selaku umatnya.
Dalam makalah ini kami membahas tentang “Pemanfaatan Gadai Oleh Penerima Gadai.  Ucapan terima kasih kepada Allah SWT, yang telah memudahkan dalam pembuatan Makalah ini. Orang tua, yang telah mendoakan dan memberikan dukungan berupa materi dan nonmateri.  Drs. H. Mahfudz, M.Ag sebagai dosen Mata kuliah Masail Fiqhiyah, yang telah memberikan bimbingan pada mata kuliah ini. Rekan-rekan mahasiswa, yang telah membantu dalam bentuk apapun.
Dengan rahmat dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan Makalah ini dengan berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi kami menyadari makalah ini jauh dari kesempurnaan, karena itu kami menerima kritik dan saran yang membangun, agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan Makalah selanjutnya.





Cirebon, 20 April 2019


Kelompok 7



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 1
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Gadai atau Rahn ..................................................................... 2
B.     Dasar Hukum ........................................................................................... 3
C.     Persamaan dan perbedaan pegadaian konvensional dan syariah .............. 4
D.    Pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai ...................................... 5
PENUTUP
A.    Kesimpulan................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 11





PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna, yang dapat menyelesikan masalah-masalah kecil maupun besar lewat sumber hukumnya. Dalam muamalah, manusia membutuhkan manusia lainnya untuk saling tolong menolong satu sama lain. Seperti halnya disaat manusia sedang membutuhkan uang, merekapun akan mencari pinjaman kepada orang yang dikenalnya atau lembaga keuangan tertentu.
Salah satu lembaga keuangan yang dapat membantu persoalan ini adalah lembaga pegadaian. Namun, terdapat pro dan kontra dengan adanya lembaga ini karena dalam pengoperasiannya ada salah satu pihak yang dirugikan. Sehingga ada beberapa pendapat dari sudut pandang Islam yang membolehkan dan tidak membolehkan terutama dalam pemanfaatan barang gadai yang diterima oleh penerima gadai.
Disini kami akan membahas Gadai (pinjaman dengan jaminan), dimulai dari pengertian gadai, dasar hukumnya, rukun dan syaratnya sampai ke pemanfaatan barang gadai.

2.      Rumusan Masalah
1.      Apakah itu Gadai (Rahn)?
2.      Bagaimanakah Dasar Hukum Gadai (Rahn)?
3.      Bagaimanakah Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional?
4.      Bagaimanakah Pemanfaatan Barang dalam Gadai (Rahn)?

3.       Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian Gadai (Rahn).
2.      Untuk mengetahui Dasar hukum Gadai (Rahn).
3.      Untuk mengetahui Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional
4.      Untuk mengetahui Pemanfaatan Barang dalam Gadai (Rahn).




PEMBAHASAN
1.      Pengertian Gadai
Definisi gadai secara umum yang diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu gadai adalah suatu hak yang diperoleh seseorang atas suatu barang bergerak yang bertumbuh maupun yang tidak bertumbuh yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang akan memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut terlebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Gadai memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1)      Gadai diberikan atas benda bergerak;
2)      Gadai harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai;
3)      Gadai memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas piutang kreditur;
4)      Gadai memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan utang tersebut.
Karena itu, makna gadai dalam bahasa hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan dan tanggungan.
Fiqh Islam menyebut gadai dengan istilah al-rahn yang berasal dari bahasa Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang berarti menetapkan sesuatu. Secara bahasa menurut Abu zakariyya Yahya bin Sharaf al-Nawawi yang ditulis oleh Ade Sofyan Mulazid, al-Rahn adalah al-subtu wa al-Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal”.[1] Secara istilah menurut Ibn Qudamah, al-Rahn adalah “al-mal al-ladhi yuj’alu wathiqatan bidaynin yustaufa min thamanihi in ta’adhara istifa’uhu mimman huwa ‘alayh” yang artinya suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas utang, untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya. Menurut Taqiyyuddin, al-Rahn adalah “ja’ala al-mal wathiqatan bidaynin” artinya menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang.




2.      Dasar hukum
Dasar hukum rahn sebagai kegiatan muamalah dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur’an, sunah, ijma’, dan fatwa DSN-MUI. Sedikitnya terdapat tiga kata yang seakar dengan kata rahn dalam al-Qur’an,  rahin dalam QS. At-Tuur ayat 21:

وَٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”

 Rahina dalam QS. Al-muddatsir ayat 38
 كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”

Farihan dalam QS. Al-Baqarah ayat 283.
۞وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ ٢٨٣
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Al-Jaziri menjelaskan bahwa arti rahina dalam QS. Al-Muddatsir (74): 38 adalah penahanan suatu barang disebabkan oleh perilaku dari pemilik barang tersebut. Dengan kata lain, ia berpendapat bahwa diri seseorang akan tertahan utangnya sampai keadaan mampu melunasinya.
Muhammad ‘Ali al-Sayis berpendapat bahwa kata farihan dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 adalah petunjuk untuk menerapkan prinsip kehati-hatian dalam transaksi utang-piutang berjangka. Kehati-hatian ditunjukan dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang yang berpiutang (murtahin). Bila transaksi dilakukan dalam perjalanan (musafir), maka transaksi tersebut harus dicatat dihadapan saksi. Bahkan ia menganggap bahwa dengan adanya barang jaminan, rahin telah melampaui prinsip kehati-hatian suatu transaksi utang yang hanya ditulis dan dipersaksikan.
Jumhur ulama menyepakati kebolehan status hukum gadai. Sebagaimana kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikan baju besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi.
3.      Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional
Secara umum, jika dilihat dari aspek manajemen dan administrasinya, pegadaian syariah tidak jauh beda dengan pegadaian konvensional. Pegadaian syariah mempunyai asas, fungsi dan tujuan yang sejalan dengan asa, fungsi, dan tujuan pegadaian nasional. Bahkan, dalam implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian konvensional, karena keduanya sama-sama menyalurkan uang pinjaman berdasarkan hukum gadai dan fidusia, keduanya merupakan lembaga yang menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat yang berorientasi pada keuntungan, dan keduanya berada dalam bingkai sistem pegadaian nasional yang tunduk pada aturan hukum yang sama, yakni hukum pegadaian nasional.
Meskipun secara umum terdapat beberapa persamaan, namun oleh karena pegadaian syariah memiliki prinsip tersendiri terutama dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pegadaian syariah memiliki tiga prinsip yang bersumberkan pada kajian ekonomi Islam. prinsip tersebut diantaranya:
a.       Prinsip Tauhid
Prinsip ini dapat mengukuhkan konsep nonmaterialistik dan dipahami sebagai triangle, dimana ketaatan kepada Tuhan diletakkan pada posisi puncak, sedangkan manusia dan alam diletakkan sejajar yang saling membutuhkan. Manusia diberikan amanat untuk memanfaatkan alam (sebagai resource) dan didorong untuk mengahasilkan output yang dapat bermanfaat bagi semua pelaku ekonomi.
Sistem pembiayaan gadai yang dianut ekonomi Islam selama ini didasarkan pada dua sifat, yaitu: konsumtif dan produktif. Pembiayaan konsumtif dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan, yaitu sistem margin (keuntungan) melalui akad al-murabahah (jual-beli tangguh); dan sistem pinjaman tanpa bunga melalui akad al-qard al-hasan atau yang lebih dikenal dengan pinjaman kebajikan. Adapun pembiayaan produktif dapat dilakukan dengan pendekatan sistem bagi hasil (profit and losing-sharing) melalui akad al-mudarabah (kemitraan pasif); dan akad al-musharakah (kemitraan aktif).
b.      Prinsip Tolong Menolong
Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharaj menyebutkan bahwa prinsip yang harus diletakkan dalam transaksi gadai adalah ta’awun (tolong menolong), yaitu prinsip saling membantu antar sesama dalam meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerjasama ekonomi dan bisnis. Hal ini sesuai dengan anjuran Al-Qur’an 
وَتَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
 “Dan tolong-menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong-menolong kamu dalam berbuat keji dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah ayat 2)
Prinsip ini berorientasi pada sosial adalah usaha seseorang untuk membantu meringankan beban saudaranya yang ditimpa kesulitan melalui gadai syariah.
c.       Prinsip Bisnis
Afzalur Rahman menyatakan bahwa bisnis (perdagangan) adalah suatu kegiatan yang dianjurkan dalam Islam. Nabi sering kali menekankan pentingnya bisnis dalam kehidupan manusia. Namun dalam mencari laba harus dengan cara yang dibenarkan oleh syariah. Hal ini bertujuan agar kesejahteraan manusia, baik di duniawi maupun diakhirat dapat tercapai.

4.      Pemanfaatan Barang Gadai oleh Penerima Gadai
Terdapat dua pendapat mengenai pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai. Jumhur ulama selian Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya selagi tidak memudharatkan al-murtahin.
a.       Menurut ulama Syafi’iyah,
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin kepada murtahin, seperti mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah dan kebun, ar-rahn harus meminta izin kepada al-murtahin.
Imam Syafi’I mengatakan manfaat dari barang jaminan adalah milik rahin, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan itu bagi murtahin. Pandangan imam Syafi’I sangat jelas bahwa yang berhak mengambil manfaat barang jaminan adalah rahin dan bukan murtahin, walaupun barang ada dibawah kekuasaan murtahin.
Argumentasi ini ditegaskan oleh Hadits dari Abu Hurayrah r.a., ia berkata, bersabda Rasulallah SAW:
Barang gadai itu tidak dimiliki (oleh penerima gadai), baginya keuntungan atas kerugian (HR.Hakim). Hadits tersebut menunjukan bahwa pihak rahin berhak mengambil manfaat dari barang yang telah dijaminkannya selama pihak rahin menanggung segala resikonya. Rahin memiliki hak sepenuhnya atas barang jaminan selama tidak mengurangi nilai barang tersebut, misalnya barang yang dapat dikendarai, digunakan dan ditempati karena memanfaatkan dan mengembangkan barang jaminan tersebuut tidak berkaitan dengan hutang. Namun, jika barang jaminan yang nilainya dapat berkurang, seperti membangun atau menanam sesuatu pada tanah garapan, pada prinsipnya tidak diperkenankan kecuali ada izin dari murtahin demi menjaga haknya.
b.       Menurut ulama Hanafiyyah,
Menurut ulama Hanafiyyah, ar-rahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin al-murtahin, begitu pula al-murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin ar-rahin. Alasannya, barang gadai harus berada pada ar-rahin dan ia berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya. Namun, sebagian ulama Hanafiyyah ada yang membolehkan untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh ar-rahin, tetapi sebagian lainnya tidak membolehkan sekalipun ada izin dan mengkategorikannya sebagai riba.
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa Jumhur ulama membolehkan pemanfaatan barang jaminan karena didasarkan pada Hadits Abu Hurayrah r.a, ia berkata, Rasulallah SA W bersabda: Barang gadai itu tidak dimiliki (oleh penerima gadai), baginya keuntungan atas kerugian (HR. Hakim). Bagi Imam Abu Hanifah perawi hadits ini kurang terpercaya sehingga ia tidak menggunakannya sebagai dasar hukum atau hujjah. Hanafiyyah berpendapat bahwa murtahin tidak dapat memanfaatkan barang jaminan yang dapat digunakan, dikendarai maupun ditempati, keuali mendapat izin rahin karena murtahin sebatas memiliki hak menahan barang bukan memanfaatkan hingga rusak, maka murtahin harus mengganti nilai barang tersebut karena dianggap sebagai ghasib (penggunaan barang yang bukan menjadi hak miliknya).
c.       Menurut ulama Malikiyah
Menurut ulama Malikiyyah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan ketika akad, dan barang gadai tersebut merupakan barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya dengan jelas.
Imam Malik berpendapat sama dengan Imam Abu Hanifah, tetapi beliau menambahkan pendapatnya, bahwa jika rahin mengizinkan murtahin memanfaatkan barang jaminan, maka hal itu diperbolehkan karena sebagai hutang akibat dari jual beli atau shubhat-nya. Namun pada permasalahan ini harus ditentukan waktu pemanfaatannya agar terhindar dari praktik penyalahgunaan hukum akibat ketidaktahuan yang dapat merusak transaksi ijarah (sewa-menyewa). Transaksi sejenis ini dikenal sebagai bay’ wa al-ijarah (jual-sewa) yang diperbolehkan. Pandangan ini menunjukan bahwa segala sesuatu yang dihasilkannya dari barang jaminan adalah termasuk hak rahin.
Pandangan radikal diajukan Malikiyyah yang berpendapat bahwa ketika barang jaminan sudah dimanfaatkan oleh rahin, maka transaksi gadai tersebut menjadi batal. Hal ini disebabkan izin memanfaatkan barang jaminan yang diberikan murtahin kepada rahin telah menyebabkan transaksi menjadi batal, meskipun barang jaminan tersebut belum sempat dimanfaatkan.
Al-Jaziri menguraikan masalah pemanfaatan barang yang dijadikan jaminan dalam dalam pandangan ulama mahzab. Mahzab Maliki berpendapat bahwa hasil yang diperoleh dari barang jaminan adalah hak rahin, selama tidak ada persyaratan yang diajukan oleh murtahin. Namun hasil dari barang jaminan akan menjadi hak (milik) murtahin apabila memenuhi tiga syarat.[2]
1.      Hutang rahin disebabkan oleh jual-beli, bukan oleh hutang piutang. Misalnya seseorang membeli rumah atau mobil dengan pembayaran kredit, kemudian pembeli memberikan barang lain sebagai jaminan, maka murtahin dapat memanfaatkan barang tersebut.
2.      Murtahin mensyaratkan manfaat barang jaminan tersebut untuknya.
3.      Masa pengambilan manfaat barang jaminan oleh murtahin harus ditentukan dengan jelas.
d.      Menurut Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, murtahin boleh memanfaatkan barang gadai jika barang gadai tersebut berupa hewan atau kendaraan. Boleh memanfaatkannya seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar mengganti biaya pemeliharaan meskipun tidak diizinkan ar-rahin. Adapun barang gadai selain kendaraan dan hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas izin ar-rahin.
Hanabilah berpendapat bahwa rahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tanpa ada keridhaan murtahin. Rahin tidak memiliki legalitas atas pemanfaatan barang jaminan tersebut. Dengan demikian, tidak sah memanfaatkan barang jaminan jika tidak ada kesepakatan antara rahin dan murtahin karena barang jaminan tidak lain sebatas jaminan hutang sehingga pemilik barang tidak boleh memanfaatkannya.
Adapun Fatwa Dewan Islam Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan menggadaikan barangsebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan ketentuan sebagai berikut:
a.       Ketentuan Umum:
1.      Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua utang rahin (yang menyerahkan barang) melunasi.
2.      Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh marhun kecuali seizing rahin, dengan tidak mengurangi nilai marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan perawatannya.
3.      Pemeliharaan dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat juga dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban rahin.
4.      Besar biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.
5.      Penjualan marhun:;
a.       Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi utangnya.
b.      Apabila rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c.       Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d.      Kelebihan hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
b.      Ketentuan Penutup
1.      Jika salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Islam setelah tidak tercapai kesepakatan musyawarah.
2.      Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.[3]










                                                                                                                                       













PENUTUP
Kesimpulan
Gadai atau istilah lainnya adalah rahn, merupakan sesuatu yang dijadikan jaminan atas hutang. Namun dalam pengelolaannya, ada lembaga yang menggunakan cara konvensional dan cara syariah. Beberapa ulama pun ada yang membolehkan dan tidak membolehkan  dalam pemanfaatan gadai oleh penerima gadai tersebut.
Sudah sangat jelas, lembaga keuangan konvensional termasuk gadai atau pegadaian, didalamnya mengandung bunga. Hal ini tentu merugikan pada salah satu pihak, terutama si pemilik gadai. Dan alangkah baiknya, untuk mengatasi permasalahan ini pemilik gadai menggunakan lembaga gadai syariah saja.
Pegadaian syariah mempunyai asas, fungsi dan tujuan yang sejalan dengan asa, fungsi, dan tujuan pegadaian nasional. Bahkan, dalam implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian konvensional, karena keduanya sama-sama menyalurkan uang pinjaman berdasarkan hukum gadai dan fidusia, keduanya merupakan lembaga yang menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat yang berorientasi pada keuntungan.
Terdapat dua pendapat mengenai pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai. Jumhur ulama selian Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan, sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya selagi tidak memudharatkan al-murtahin.
















Daftar Pustaka

Ade Sofyan Mulazid. 2016. Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group.
Nurul Huda dan Mohamad Heykal. 2013. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Qamarul Huda. 2011. Fiqih Muamalah. Yogyakarta : Penerbit Teras.


[1] Ade Sofyan Mulazid. 2016. Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah. Jakarta: Prenadamedia Group, hal. 1

[2] Qamarul Huda. 2011. Fiqih Muamalah. Yogyakarta : Penerbit Teras. Hal. 96-98
[3] Nurul Huda dan Mohamad Heykal. 2013. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,  hal. 278
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar