MAKALAH
Pemanfaatan Gadai oleh Penerima Gadai
Disusun
untuk memenuhi Tugas Terstruktur
Mata
kuliah Masail Fiqhiyah
Dosen
Pengampu :
Drs. H. Mahfudz, M.Ag
Disusun
oleh PAI-A/6
kelompok 7:
Eha Siti Julaeha 1608101007
Sintiya Rahayu 1608101013
Jaenudin 1608101027
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
TAHUN AKADEMIK 2018/2019
KATAPENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas Terstruktur Mata kuliah Masail
Fiqhiyah. Shalawat serta salam semoga Allah tetap melimpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW., kepada keluarganya, sahabatnya, serta kepada kita selaku umatnya.
Dalam
makalah ini kami membahas tentang “Pemanfaatan Gadai Oleh Penerima Gadai”. Ucapan
terima kasih kepada Allah SWT, yang telah memudahkan
dalam pembuatan Makalah ini. Orang
tua, yang telah mendoakan dan memberikan dukungan berupa materi dan nonmateri. Drs. H. Mahfudz,
M.Ag sebagai dosen Mata kuliah Masail Fiqhiyah, yang telah memberikan bimbingan
pada mata kuliah ini. Rekan-rekan mahasiswa, yang telah membantu dalam bentuk apapun.
Dengan rahmat dan karunia-Nya kami bisa menyelesaikan Makalah ini
dengan berusaha semaksimal mungkin, akan tetapi kami menyadari makalah ini jauh
dari kesempurnaan, karena itu kami menerima kritik dan saran yang membangun,
agar kami bisa lebih baik lagi dalam pembuatan Makalah selanjutnya.
Cirebon, 20 April 2019
Kelompok 7
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR....................................................................................... i
DAFTAR
ISI....................................................................................................... ii
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.......................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C.
Tujuan Penulisan....................................................................................... 1
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Gadai atau Rahn ..................................................................... 2
B.
Dasar Hukum ........................................................................................... 3
C.
Persamaan dan perbedaan pegadaian konvensional dan
syariah .............. 4
D.
Pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai ...................................... 5
PENUTUP
A.
Kesimpulan................................................................................................ 10
DAFTAR
PUSTAKA......................................................................................... 11
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Islam adalah agama yang
sempurna, yang dapat menyelesikan masalah-masalah kecil maupun besar lewat
sumber hukumnya. Dalam muamalah, manusia membutuhkan manusia lainnya untuk
saling tolong menolong satu sama lain. Seperti halnya disaat manusia sedang
membutuhkan uang, merekapun akan mencari pinjaman kepada orang yang dikenalnya
atau lembaga keuangan tertentu.
Salah satu lembaga
keuangan yang dapat membantu persoalan ini adalah lembaga pegadaian. Namun,
terdapat pro dan kontra dengan adanya lembaga ini karena dalam pengoperasiannya
ada salah satu pihak yang dirugikan. Sehingga ada beberapa pendapat dari sudut
pandang Islam yang membolehkan dan tidak membolehkan terutama dalam pemanfaatan
barang gadai yang diterima oleh penerima gadai.
Disini kami akan
membahas Gadai (pinjaman dengan jaminan), dimulai dari pengertian gadai,
dasar hukumnya, rukun dan syaratnya sampai ke pemanfaatan barang gadai.
2.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah
itu Gadai (Rahn)?
2.
Bagaimanakah
Dasar Hukum Gadai (Rahn)?
3.
Bagaimanakah
Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian Konvensional?
4.
Bagaimanakah
Pemanfaatan Barang dalam Gadai (Rahn)?
3.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian Gadai (Rahn).
2.
Untuk
mengetahui Dasar hukum Gadai (Rahn).
3.
Untuk
mengetahui Persamaan dan Perbedaan Pegadaian
Syariah dengan Pegadaian Konvensional
4.
Untuk
mengetahui Pemanfaatan Barang dalam Gadai (Rahn).
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Gadai
Definisi gadai secara umum yang
diatur dalam pasal 1150 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu gadai
adalah suatu hak yang diperoleh seseorang atas suatu barang bergerak yang
bertumbuh maupun yang tidak bertumbuh yang diberikan kepadanya oleh debitur
atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang akan
memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari barang
tersebut terlebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali
biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan
untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana yang harus didahulukan.
Gadai memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
1)
Gadai
diberikan atas benda bergerak;
2)
Gadai
harus dikeluarkan dari penguasaan pemberi gadai;
3)
Gadai
memberikan hak kepada kreditur untuk memperoleh pelunasan terlebih dahulu atas
piutang kreditur;
4)
Gadai
memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mengambil sendiri pelunasan utang
tersebut.
Karena itu, makna gadai dalam bahasa
hukum perundang-undangan disebut sebagai barang jaminan, agunan dan tanggungan.
Fiqh Islam menyebut gadai dengan
istilah al-rahn yang berasal dari bahasa Arab “rahana-yarhanu-rahnan” yang
berarti menetapkan sesuatu. Secara bahasa menurut Abu zakariyya Yahya bin
Sharaf al-Nawawi yang ditulis oleh Ade Sofyan Mulazid, al-Rahn adalah al-subtu
wa al-Dawam yang berarti “tetap” dan “kekal”.[1]
Secara istilah menurut Ibn Qudamah, al-Rahn adalah “al-mal al-ladhi yuj’alu
wathiqatan bidaynin yustaufa min thamanihi in ta’adhara istifa’uhu mimman huwa
‘alayh” yang artinya suatu benda yang dijadikan kepercayaan atas utang,
untuk dipenuhi harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utangnya.
Menurut Taqiyyuddin, al-Rahn adalah “ja’ala al-mal wathiqatan bidaynin”
artinya menjadikan suatu barang sebagai jaminan utang.
2.
Dasar hukum
Dasar hukum rahn sebagai kegiatan
muamalah dapat merujuk pada dalil-dalil yang didasarkan pada al-Qur’an, sunah,
ijma’, dan fatwa DSN-MUI. Sedikitnya terdapat tiga kata yang seakar dengan kata
rahn dalam al-Qur’an, rahin dalam QS.
At-Tuur ayat 21:
وَٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ وَٱتَّبَعَتۡهُمۡ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَٰنٍ أَلۡحَقۡنَا بِهِمۡ
ذُرِّيَّتَهُمۡ وَمَآ أَلَتۡنَٰهُم مِّنۡ عَمَلِهِم مِّن شَيۡءٖۚ كُلُّ ٱمۡرِيِٕۢ
بِمَا كَسَبَ رَهِينٞ ٢١
“Dan orang-oranng yang beriman, dan yang
anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu
mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal
mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”
Rahina dalam QS. Al-muddatsir
ayat 38
كُلُّ نَفۡسِۢ بِمَا كَسَبَتۡ رَهِينَةٌ ٣٨
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa
yang telah diperbuatnya.”
Farihan dalam QS. Al-Baqarah ayat 283.
۞وَإِن كُنتُمۡ عَلَىٰ
سَفَرٖ وَلَمۡ تَجِدُواْ كَاتِبٗا فَرِهَٰنٞ مَّقۡبُوضَةٞۖ فَإِنۡ أَمِنَ
بَعۡضُكُم بَعۡضٗا فَلۡيُؤَدِّ ٱلَّذِي ٱؤۡتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلۡيَتَّقِ
ٱللَّهَ رَبَّهُۥۗ وَلَا تَكۡتُمُواْ ٱلشَّهَٰدَةَۚ وَمَن يَكۡتُمۡهَا فَإِنَّهُۥٓ
ءَاثِمٞ قَلۡبُهُۥۗ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ ٢٨٣
“Jika kamu dalam perjalanan (dan
bermu´amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis,
maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan
tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan
persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah
orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Al-Jaziri menjelaskan bahwa arti
rahina dalam QS. Al-Muddatsir (74): 38 adalah penahanan suatu barang disebabkan
oleh perilaku dari pemilik barang tersebut. Dengan kata lain, ia berpendapat
bahwa diri seseorang akan tertahan utangnya sampai keadaan mampu melunasinya.
Muhammad ‘Ali al-Sayis berpendapat
bahwa kata farihan dalam QS. Al-Baqarah (2): 283 adalah petunjuk untuk
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam transaksi utang-piutang berjangka.
Kehati-hatian ditunjukan dengan cara menjaminkan sebuah barang kepada orang
yang berpiutang (murtahin). Bila transaksi dilakukan dalam perjalanan
(musafir), maka transaksi tersebut harus dicatat dihadapan saksi. Bahkan ia
menganggap bahwa dengan adanya barang jaminan, rahin telah melampaui prinsip
kehati-hatian suatu transaksi utang yang hanya ditulis dan dipersaksikan.
Jumhur ulama menyepakati kebolehan
status hukum gadai. Sebagaimana kisah Nabi Muhammad SAW yang menggadaikan baju
besinya untuk mendapatkan makanan dari seorang Yahudi.
3.
Persamaan dan Perbedaan Pegadaian Syariah dengan Pegadaian
Konvensional
Secara umum, jika dilihat dari aspek
manajemen dan administrasinya, pegadaian syariah tidak jauh beda dengan
pegadaian konvensional. Pegadaian syariah mempunyai asas, fungsi dan tujuan
yang sejalan dengan asa, fungsi, dan tujuan pegadaian nasional. Bahkan, dalam
implementasi operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian
konvensional, karena keduanya sama-sama menyalurkan uang pinjaman berdasarkan
hukum gadai dan fidusia, keduanya merupakan lembaga yang menyalurkan pembiayaan
kepada masyarakat yang berorientasi pada keuntungan, dan keduanya berada dalam
bingkai sistem pegadaian nasional yang tunduk pada aturan hukum yang sama,
yakni hukum pegadaian nasional.
Meskipun secara umum terdapat
beberapa persamaan, namun oleh karena pegadaian syariah memiliki prinsip
tersendiri terutama dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pegadaian syariah
memiliki tiga prinsip yang bersumberkan pada kajian ekonomi Islam. prinsip
tersebut diantaranya:
a.
Prinsip
Tauhid
Prinsip ini dapat mengukuhkan konsep
nonmaterialistik dan dipahami sebagai triangle, dimana ketaatan kepada Tuhan
diletakkan pada posisi puncak, sedangkan manusia dan alam diletakkan sejajar
yang saling membutuhkan. Manusia diberikan amanat untuk memanfaatkan alam
(sebagai resource) dan didorong untuk mengahasilkan output yang dapat
bermanfaat bagi semua pelaku ekonomi.
Sistem pembiayaan gadai yang dianut
ekonomi Islam selama ini didasarkan pada dua sifat, yaitu: konsumtif dan
produktif. Pembiayaan konsumtif dapat dilakukan dengan beberapa
pendekatan, yaitu sistem margin (keuntungan) melalui akad al-murabahah
(jual-beli tangguh); dan sistem pinjaman tanpa bunga melalui akad al-qard
al-hasan atau yang lebih dikenal dengan pinjaman kebajikan. Adapun pembiayaan
produktif dapat dilakukan dengan pendekatan sistem bagi hasil (profit and
losing-sharing) melalui akad al-mudarabah (kemitraan pasif); dan akad
al-musharakah (kemitraan aktif).
b.
Prinsip
Tolong Menolong
Abu Yusuf (w. 182 H) dalam al-Kharaj
menyebutkan bahwa prinsip yang harus diletakkan dalam transaksi gadai adalah
ta’awun (tolong menolong), yaitu prinsip saling membantu antar sesama dalam
meningkatkan taraf hidup melalui mekanisme kerjasama ekonomi dan bisnis. Hal
ini sesuai dengan anjuran Al-Qur’an
وَتَعَاوَنُواْ
عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ
وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۖ إِنَّ ٱللَّهَ شَدِيدُ ٱلۡعِقَابِ ٢
“Dan tolong-menolonglah kamu
dalam berbuat kebajikan dan takwa serta janganlah bertolong-menolong kamu dalam
berbuat keji dan permusuhan.” (QS. Al-Maidah ayat 2)
Prinsip ini berorientasi pada sosial
adalah usaha seseorang untuk membantu meringankan beban saudaranya yang ditimpa
kesulitan melalui gadai syariah.
c.
Prinsip
Bisnis
Afzalur Rahman
menyatakan bahwa bisnis (perdagangan) adalah suatu kegiatan yang dianjurkan
dalam Islam. Nabi sering kali menekankan pentingnya bisnis dalam kehidupan
manusia. Namun dalam mencari laba harus dengan cara yang dibenarkan oleh
syariah. Hal ini bertujuan agar kesejahteraan manusia, baik di duniawi maupun
diakhirat dapat tercapai.
4.
Pemanfaatan Barang Gadai oleh Penerima Gadai
Terdapat dua pendapat mengenai
pemanfaatan barang gadai oleh penerima gadai. Jumhur ulama selian Syafi’iyah
melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan, sedangkan ulama
Syafi’iyah membolehkannya selagi tidak memudharatkan al-murtahin.
a.
Menurut
ulama Syafi’iyah,
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa
ar-rahin dibolehkan untuk memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan
barang gadai itu berkurang, tidak perlu meminta izin kepada murtahin, seperti
mengendarainya, dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan barang gadai
tersebut berkurang seperti pengolahan sawah dan kebun, ar-rahn harus meminta
izin kepada al-murtahin.
Imam Syafi’I mengatakan manfaat dari
barang jaminan adalah milik rahin, tidak ada sesuatu pun dari barang jaminan
itu bagi murtahin. Pandangan imam Syafi’I sangat jelas bahwa yang berhak
mengambil manfaat barang jaminan adalah rahin dan bukan murtahin, walaupun
barang ada dibawah kekuasaan murtahin.
Argumentasi ini ditegaskan oleh
Hadits dari Abu Hurayrah r.a., ia berkata, bersabda Rasulallah SAW:
Barang gadai itu tidak dimiliki (oleh penerima gadai), baginya
keuntungan atas kerugian (HR.Hakim). Hadits tersebut menunjukan bahwa pihak
rahin berhak mengambil manfaat dari barang yang telah dijaminkannya selama
pihak rahin menanggung segala resikonya. Rahin memiliki hak sepenuhnya atas
barang jaminan selama tidak mengurangi nilai barang tersebut, misalnya barang
yang dapat dikendarai, digunakan dan ditempati karena memanfaatkan dan
mengembangkan barang jaminan tersebuut tidak berkaitan dengan hutang. Namun,
jika barang jaminan yang nilainya dapat berkurang, seperti membangun atau
menanam sesuatu pada tanah garapan, pada prinsipnya tidak diperkenankan kecuali
ada izin dari murtahin demi menjaga haknya.
b.
Menurut ulama Hanafiyyah,
Menurut ulama Hanafiyyah, ar-rahin
tidak boleh memanfaatkan barang gadai tanpa seizin al-murtahin, begitu pula
al-murtahin tidak boleh memanfaatkannya tanpa seizin ar-rahin. Alasannya,
barang gadai harus berada pada ar-rahin dan ia berhak menguasainya dan tidak
boleh memanfaatkannya. Namun, sebagian ulama Hanafiyyah ada yang membolehkan
untuk memanfaatkannya jika diizinkan oleh ar-rahin, tetapi sebagian lainnya
tidak membolehkan sekalipun ada izin dan mengkategorikannya sebagai riba.
Imam Abu Hanifah menyatakan bahwa
Jumhur ulama membolehkan pemanfaatan barang jaminan karena didasarkan pada
Hadits Abu Hurayrah r.a, ia berkata, Rasulallah SA W bersabda: Barang gadai itu
tidak dimiliki (oleh penerima gadai), baginya keuntungan atas kerugian (HR.
Hakim). Bagi Imam Abu Hanifah perawi hadits ini kurang terpercaya sehingga ia
tidak menggunakannya sebagai dasar hukum atau hujjah. Hanafiyyah berpendapat
bahwa murtahin tidak dapat memanfaatkan barang jaminan yang dapat digunakan,
dikendarai maupun ditempati, keuali mendapat izin rahin karena murtahin sebatas
memiliki hak menahan barang bukan memanfaatkan hingga rusak, maka murtahin
harus mengganti nilai barang tersebut karena dianggap sebagai ghasib (penggunaan
barang yang bukan menjadi hak miliknya).
c.
Menurut
ulama Malikiyah
Menurut ulama Malikiyyah, murtahin
boleh memanfaatkan barang gadai, jika diizinkan oleh rahin atau disyaratkan
ketika akad, dan barang gadai tersebut merupakan barang yang dapat diperjual
belikan serta ditentukan waktunya dengan jelas.
Imam Malik berpendapat sama dengan
Imam Abu Hanifah, tetapi beliau menambahkan pendapatnya, bahwa jika rahin
mengizinkan murtahin memanfaatkan barang jaminan, maka hal itu diperbolehkan
karena sebagai hutang akibat dari jual beli atau shubhat-nya. Namun pada
permasalahan ini harus ditentukan waktu pemanfaatannya agar terhindar dari
praktik penyalahgunaan hukum akibat ketidaktahuan yang dapat merusak transaksi
ijarah (sewa-menyewa). Transaksi sejenis ini dikenal sebagai bay’ wa al-ijarah
(jual-sewa) yang diperbolehkan. Pandangan ini menunjukan bahwa segala sesuatu
yang dihasilkannya dari barang jaminan adalah termasuk hak rahin.
Pandangan radikal diajukan
Malikiyyah yang berpendapat bahwa ketika barang jaminan sudah dimanfaatkan oleh
rahin, maka transaksi gadai tersebut menjadi batal. Hal ini disebabkan izin
memanfaatkan barang jaminan yang diberikan murtahin kepada rahin telah
menyebabkan transaksi menjadi batal, meskipun barang jaminan tersebut belum
sempat dimanfaatkan.
Al-Jaziri
menguraikan masalah pemanfaatan barang yang dijadikan jaminan dalam dalam
pandangan ulama mahzab. Mahzab Maliki berpendapat bahwa hasil yang diperoleh
dari barang jaminan adalah hak rahin, selama tidak ada persyaratan yang
diajukan oleh murtahin. Namun hasil dari barang jaminan akan menjadi hak
(milik) murtahin apabila memenuhi tiga syarat.[2]
1. Hutang
rahin disebabkan oleh jual-beli, bukan oleh hutang piutang. Misalnya seseorang
membeli rumah atau mobil dengan pembayaran kredit, kemudian pembeli memberikan
barang lain sebagai jaminan, maka murtahin dapat memanfaatkan barang
tersebut.
2. Murtahin mensyaratkan manfaat barang jaminan
tersebut untuknya.
3.
Masa pengambilan manfaat barang jaminan oleh murtahin harus
ditentukan dengan jelas.
d.
Menurut
Ulama Hanabilah
Menurut ulama Hanabilah, murtahin
boleh memanfaatkan barang gadai jika barang gadai tersebut berupa hewan atau
kendaraan. Boleh memanfaatkannya seperti mengendarai atau mengambil susunya
sekedar mengganti biaya pemeliharaan meskipun tidak diizinkan ar-rahin. Adapun
barang gadai selain kendaraan dan hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali atas
izin ar-rahin.
Hanabilah berpendapat bahwa rahin
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tanpa ada keridhaan murtahin. Rahin
tidak memiliki legalitas atas pemanfaatan barang jaminan tersebut. Dengan
demikian, tidak sah memanfaatkan barang jaminan jika tidak ada kesepakatan
antara rahin dan murtahin karena barang jaminan tidak lain sebatas jaminan
hutang sehingga pemilik barang tidak boleh memanfaatkannya.
Adapun Fatwa Dewan Islam Nasional
No. 25/DSN-MUI/III/2002 Tanggal 26 Juni 2002 yang menyatakan bahwa pinjaman dengan
menggadaikan barangsebagai jaminan utang dalam bentuk rahn diperbolehkan dengan
ketentuan sebagai berikut:
a.
Ketentuan
Umum:
1.
Murtahin
(penerima barang) mempunyai hak untuk menahan marhun (barang) sampai semua
utang rahin (yang menyerahkan barang) melunasi.
2.
Marhun
dan manfaatnya tetap menjadi milik rahin. Pada prinsipnya marhun tidak boleh
dimanfaatkan oleh marhun kecuali seizing rahin, dengan tidak mengurangi nilai
marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan
perawatannya.
3.
Pemeliharaan
dan penyimpanan marhun pada dasarnya menjadi kewajiban rahin, namun dapat juga
dilakukan oleh murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap
menjadi kewajiban rahin.
4.
Besar
biaya administrasi dan penyimpanan marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan
jumlah pinjaman.
5.
Penjualan
marhun:;
a.
Apabila
jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan rahin untuk segera melunasi
utangnya.
b.
Apabila
rahin tetap tidak melunasi utangnya, maka marhun dijual paksa/dieksekusi.
c.
Hasil
penjualan marhun digunakan untuk melunasi utang, biaya pemeliharaan dan
penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.
d.
Kelebihan
hasil penjualan menjadi milik rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban rahin.
b.
Ketentuan
Penutup
1.
Jika
salah satu pihak tidak dapat menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan
melalui Badan Arbitrase Islam setelah tidak tercapai kesepakatan musyawarah.
2.
Fatwa
ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari terdapat
kekeliruan akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.[3]
PENUTUP
Kesimpulan
Gadai atau istilah lainnya adalah rahn, merupakan sesuatu yang
dijadikan jaminan atas hutang. Namun dalam pengelolaannya, ada lembaga yang
menggunakan cara konvensional dan cara syariah. Beberapa ulama pun ada yang
membolehkan dan tidak membolehkan dalam
pemanfaatan gadai oleh penerima gadai tersebut.
Sudah sangat jelas, lembaga keuangan konvensional termasuk gadai
atau pegadaian, didalamnya mengandung bunga. Hal ini tentu merugikan pada salah
satu pihak, terutama si pemilik gadai. Dan alangkah baiknya, untuk mengatasi
permasalahan ini pemilik gadai menggunakan lembaga gadai syariah saja.
Pegadaian syariah mempunyai asas, fungsi dan tujuan yang sejalan
dengan asa, fungsi, dan tujuan pegadaian nasional. Bahkan, dalam implementasi
operasional pegadaian syariah hampir mirip dengan pegadaian konvensional,
karena keduanya sama-sama menyalurkan uang pinjaman berdasarkan hukum gadai dan
fidusia, keduanya merupakan lembaga yang menyalurkan pembiayaan kepada
masyarakat yang berorientasi pada keuntungan.
Terdapat dua pendapat mengenai pemanfaatan barang gadai oleh
penerima gadai. Jumhur ulama selian Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk
memanfaatkan barang gadai atau jaminan, sedangkan ulama Syafi’iyah
membolehkannya selagi tidak memudharatkan al-murtahin.
Daftar Pustaka
Ade Sofyan
Mulazid. 2016. Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Nurul Huda dan
Mohamad Heykal. 2013. Lembaga Keuangan Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Qamarul
Huda. 2011. Fiqih Muamalah. Yogyakarta : Penerbit Teras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar