Senin, 29 April 2019

Sifat-sifat Pendidik


Sifat – Sifat Pendidik
1.    Sifat Lemah Lembut dan Kasih Sayang

فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali ‘Imran (3): 159)

Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan, andaikata egkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan engkau dan tidak menyenangimu. Dengan demikian, engkau tidak dapat menyampaikan hidayah dan bimbingan kepada mreka ke jalan yang lurus.[1] Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada setiap peserta didiknya. Jika tidak, maka sikap kasar ituakan menjadi penghalang baginya untuk mencapai tjuan pendidikan.
            Sejalan dengan itu, Rasulullah Saw. menyampaikan secara lebih tegas agar umatnya (trmasuk pendidik) memiliki rasa kasih saying, sebagaimana terlihat dalam hadits berikut ini.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَألَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْ حَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْكَبِيْر نَا وَيَأْ مُرْبِالمَعْرُوفِ ويَنْهَ عَنِالمُنْكَرِ

Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang lebih muda, tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyuruh berbuat ma’ruf, dan tidak mencegah perbuatan mungkar.” (HR. At-Tirmidzi)
            Kandunan hadits ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh umat Nabi Muhammad. Pendidik harus memiliki sifat kasih saying kepada para peserta didik agar mereka dapat menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Segala proses edukatif yang dilakukan oleh pendidik harus diwarnai oleh sifat ini.
2.      Mengembalikan Ilmu kepada Allah
Seorang pendidik harus memiliki sifat tawadhu, tidak merasa paling tahu atau serba tahu. Apabila ada hal-hal yang tidak diketahui dengan jelas, ia sebaiknya mengembalikan perolan pada Allah SWT. Sehubungan dengan hal ini terdapat hadits berikut.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَالله عَنْهُمَا قَالَ سٌئِلَ رَسُولُالله صلَّىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَوْلاَدِ المُشْرِكِيْنَ فَقَال الله إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ بِمَا كَانُوا عَامِلِيْنَ

Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. ditanya tentang anak-anak musyrik . Lalu beliau menjawab, “Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat mereka diciptakan.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
      Dalam hadits ini dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. ditanya oleh sahabat tentang nasib anak-anak orang musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, “Allah lebih mengetahui,”atau”Allah mengetahui apa yang mereka lakukan.” Disini terlihat bahwa bahwa beliau tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa rishi dengan sikap yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Apabila ternyata ada hal yang diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan, “Allah Yang Mahatahu.” Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu seorang hamba.

3.      Memperhatikan Keadaan Peserta Didik
Agar pendidikan dan pembelajaran dapat terlaksana dengan efektif, pendidik perlu memperhatikan keadaan peserta didiknya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat, perhatian, kemampuan dan kondisi fisik jasmani peserta didik. Pendidik jangan sampai memberikan bahan pelajaran yang melebihi batas kemampuan peserta didik. Sehubungan dengan ini terdapat hadits.
عَنْ ابْنِ مَسْعُودِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْ عِظَةِ فِيالْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّامَةِ عَلَيْنَا
Dari Ibnu Mas’ud, ia menceritakan, Nabi Saw. selalu menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.” (HR. Al-Bukhari)
            Dalam hadits ini terdapat informasi bahwa Rasulullah Saw. mengajar sahabat tidak setiap hari, tetapi ada waktu belajar da nada pula waktu istirahat. Hal itu dilakukannya untuk menghindari kebosanan pada pelajaran. Itu berarti bahwa beliau memperhatikan kondisi para sahabat (peserta didik) dalam mengajar. Mereka membutuhkan selingan waktu untuk beristirahat.
            Menurut Muhammad Utsman Najati, di antara temuan riset mutakhir dalam proses belajar adalah jadwal waktu belajar. Dengan kata lain, dalam proses belajar harus ada rentang waktu untuk istirahat. Hal ini sangat penting dalam proses belajar yang tepat dan cepat. Dengan mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran akan disampaikan berikutnya dapat dicerna dengan baik.[2] Oleh karena itu, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar dapat y rasa lelah dan bosan.
            Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwa Nabi Saw. dalam beberapa hari pernah memberi nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan muncul pada diri kami semua. Abu Wail ra. berkata, “Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah kepada sekelompok orang. Salah seorang di antara mereka berkata kepadanya, ‘Wahai ayah Abdurrahman, aku berharap engkau setiap hari memberi cramah kepada kami.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak suka melihat kalian bosan. Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi Saw. memberi peringatan kepada kami. Kami takut apabila rasa bosan menimpa kami semua.”
            Secar praktis, prinsip ini dilakukan Nabi Saw. ketika menyuruh para sahabat mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak diperbolehkan mempelajari lebih dari itu, kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya. Abdullah bin Mas’ud ra. berkata, “ Kami belajarkepada Nabi Saw. 10 ayat Alquran. Setelah itu, kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena mengamalkannya?” Ia menjawab benar.”
عَنْ عَا ئِشَة قَالَتْ قَالَ رَسُولُالله صلَّىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمم إِنَّ الله لَمْ يَبْعَثْنِي مُعْنِتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًامُيَسّرًا
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar (guru) dan pemberi kemudahan.” (HR. Muslim)
4.      Berlaku dan Berkata jujur
Seorang pendidik harus bersifat jujur kepada peserta didiknya sebagaimana yang ditunjukkan  oleh Nabi Saw. dalam hadis berikut.
عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ ... قَالَ فَأَخْبِرْ نِي عَنِ السَّا عَةِ قَالَ مَا المَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلُ ...
Umar bin Al-khaththab meriwayatkan, “… Jibril berkata lagi, ‘Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat. ‘Rasulullah menjawab, ‘Tentang masalah ini,saya tidak lebih tahu dari engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi Saw. ditanya oleh Malaikat Jibril tentang hari kiamat, beliau menjawab, “Saya tidak lebih tahu daripada engkau.” Beliau tidak mentang-mentang  sebagai Rasulullah lalu menjawab semua yang ditanyakam kepadanya. Beliau tidak sgan-segan mengatakan tidak tahu, apabila yang ditanyakan seseorang memang tidak diketahui jawabannya. Inilah sifat yang harus dimiliki ole setiap pendidik.
            Seorang ilmuwan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Apabila ditanya seseorang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, ia harus berani mengatakan tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untul menjaga gengsi kilmuan.


[1]  Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, jilid II, juz IV, hlm. 113
[2] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dala perspektif Hadis, judul asli Al-Hadits wa ‘Ulum An-Nafs, diterjemahakan Zaen Zaenuddin Abu Bakar dan Syafruddin Azhar, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru, 2004), cet. Ke-1, hlm. 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar