Sifat – Sifat Pendidik
1.
Sifat
Lemah Lembut dan Kasih Sayang
فَبِمَا رَحۡمَةٖ مِّنَ ٱللَّهِ لِنتَ
لَهُمۡۖ وَلَوۡ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ ٱلۡقَلۡبِ لَٱنفَضُّواْ مِنۡ حَوۡلِكَۖ
فَٱعۡفُ عَنۡهُمۡ وَٱسۡتَغۡفِرۡ لَهُمۡ وَشَاوِرۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡرِۖ فَإِذَا
عَزَمۡتَ فَتَوَكَّلۡ عَلَى ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُتَوَكِّلِينَ ١٥٩
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah
kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan
mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya. (Q.S. Ali ‘Imran (3): 159)
Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan,
andaikata egkau (Muhammad) bersikap kasar dan galak dalam muamalah dengan
mereka (kaum muslimin), niscaya mereka akan bercerai (bubar) meninggalkan
engkau dan tidak menyenangimu. Dengan demikian, engkau tidak dapat menyampaikan
hidayah dan bimbingan kepada mreka ke jalan yang lurus.[1]
Berdasarkan tafsir ini, seorang pendidik harus memiliki rasa santun kepada
setiap peserta didiknya. Jika tidak, maka sikap kasar ituakan menjadi
penghalang baginya untuk mencapai tjuan pendidikan.
Sejalan
dengan itu, Rasulullah Saw. menyampaikan secara lebih tegas agar umatnya
(trmasuk pendidik) memiliki rasa kasih saying, sebagaimana terlihat dalam
hadits berikut ini.
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَألَ رَسُولُ اللَّه صلى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَّا
مَنْ لَمْ يَرْ حَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْكَبِيْر نَا وَيَأْ مُرْبِالمَعْرُوفِ
ويَنْهَ عَنِالمُنْكَرِ
Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah
Saw. bersabda, “Bukanlah termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi
yang lebih muda, tidak memuliakan yang lebih tua, tidak menyuruh berbuat
ma’ruf, dan tidak mencegah perbuatan mungkar.” (HR. At-Tirmidzi)
Kandunan
hadits ini bersifat umum, berlaku untuk seluruh umat Nabi Muhammad. Pendidik
harus memiliki sifat kasih saying kepada para peserta didik agar mereka dapat
menerima pendidikan dan pengajaran dengan hati yang senang dan nyaman. Segala
proses edukatif yang dilakukan oleh pendidik harus diwarnai oleh sifat ini.
2.
Mengembalikan Ilmu kepada Allah
Seorang pendidik harus memiliki sifat
tawadhu, tidak merasa paling tahu atau serba tahu. Apabila ada hal-hal yang
tidak diketahui dengan jelas, ia sebaiknya mengembalikan perolan pada Allah
SWT. Sehubungan dengan hal ini terdapat hadits berikut.
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسِ رَضِيَالله عَنْهُمَا قَالَ سٌئِلَ رَسُولُالله صلَّىالله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ أَوْلاَدِ المُشْرِكِيْنَ فَقَال الله إِذْ خَلَقَهُمْ أَعْلَمُ
بِمَا كَانُوا عَامِلِيْنَ
Ibnu Abbas ra. meriwayatkan bahwa
Rasulullah Saw. ditanya tentang anak-anak musyrik . Lalu beliau menjawab,
“Allah Maha Mengetahui apa yang akan mereka kerjakan pada saat mereka
diciptakan.” (HR. Al-Bukhari Muslim)
Dalam
hadits ini dinyatakan bahwa Rasulullah Saw. ditanya oleh sahabat tentang nasib
anak-anak orang musyrik pada hari kiamat nanti. Beliau menjawab, “Allah lebih
mengetahui,”atau”Allah mengetahui apa yang mereka lakukan.” Disini terlihat
bahwa bahwa beliau tidak selalu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya,
kendatipun beliau adalah Rasulullah. Beliau tidak merasa rishi dengan sikap
yang harus dimiliki oleh setiap pendidik. Apabila ternyata ada hal yang
diragukan atau belum diketahui sama sekali, jangan segan mengatakan, “Allah
Yang Mahatahu.” Itu adalah salah satu bentuk sikap tawadhu seorang hamba.
3.
Memperhatikan Keadaan Peserta Didik
Agar pendidikan dan pembelajaran dapat
terlaksana dengan efektif, pendidik perlu memperhatikan keadaan peserta
didiknya. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah minat, perhatian, kemampuan
dan kondisi fisik jasmani peserta didik. Pendidik jangan sampai memberikan
bahan pelajaran yang melebihi batas kemampuan peserta didik. Sehubungan dengan
ini terdapat hadits.
عَنْ
ابْنِ مَسْعُودِ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَخَوَّلُنَا
بِالْمَوْ عِظَةِ فِيالْأَيَّامِ كَرَاهَةَ السَّامَةِ عَلَيْنَا
Dari Ibnu Mas’ud, ia menceritakan, Nabi Saw. selalu
menyelingi hari-hari belajar untuk kami untuk menghindari kebosanan kami.” (HR.
Al-Bukhari)
Dalam
hadits ini terdapat informasi bahwa Rasulullah Saw. mengajar sahabat tidak
setiap hari, tetapi ada waktu belajar da nada pula waktu istirahat. Hal itu
dilakukannya untuk menghindari kebosanan pada pelajaran. Itu berarti bahwa
beliau memperhatikan kondisi para sahabat (peserta didik) dalam mengajar.
Mereka membutuhkan selingan waktu untuk beristirahat.
Menurut
Muhammad Utsman Najati, di antara temuan riset mutakhir dalam proses belajar
adalah jadwal waktu belajar. Dengan kata lain, dalam proses belajar harus ada
rentang waktu untuk istirahat. Hal ini sangat penting dalam proses belajar yang
tepat dan cepat. Dengan mengatur jadwal waktu belajar, pelajaran akan
disampaikan berikutnya dapat dicerna dengan baik.[2]
Oleh karena itu, prinsip belajar dengan membagi waktu belajar dapat y rasa
lelah dan bosan.
Diriwayatkan
dari Abdullah bin Mas’ud ra. bahwa Nabi Saw. dalam beberapa hari pernah memberi
nasihat kepada kami sehingga perasaan benci dan bosan muncul pada diri kami
semua. Abu Wail ra. berkata, “Setiap hari Kamis, Abdullah memberi ceramah
kepada sekelompok orang. Salah seorang di antara mereka berkata kepadanya,
‘Wahai ayah Abdurrahman, aku berharap engkau setiap hari memberi cramah kepada
kami.’ Ia menjawab, ‘Aku tidak bisa setiap hari karena sesungguhnya aku tidak
suka melihat kalian bosan. Aku memberi ceramah kepada kalian seperti Nabi Saw. memberi
peringatan kepada kami. Kami takut apabila rasa bosan menimpa kami semua.”
Secar
praktis, prinsip ini dilakukan Nabi Saw. ketika menyuruh para sahabat
mempelajari 10 ayat Alquran. Mereka tidak diperbolehkan mempelajari lebih dari
itu, kecuali setelah mereka benar-benar memahami dan mengamalkannya. Abdullah
bin Mas’ud ra. berkata, “ Kami belajarkepada Nabi Saw. 10 ayat Alquran. Setelah
itu, kami tidak belajar ayat Alquran hingga kami benar-benar mendalami 10 ayat
tersebut.” Ditanya oleh temannya, “Apakah karena mengamalkannya?” Ia menjawab
benar.”
عَنْ
عَا ئِشَة
قَالَتْ قَالَ رَسُولُالله صلَّىالله عَلَيْهِ وَسَلَّمم إِنَّ الله لَمْ
يَبْعَثْنِي مُعْنِتًا وَلَكِنْ بَعَثَنِي مُعَلِّمًامُيَسّرًا
Aisyah meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku sebagai orang yang menyusahkan dan
merendahkan orang lain. Akan tetapi, Allah mengutusku sebagai seorang pengajar
(guru) dan pemberi kemudahan.” (HR. Muslim)
4.
Berlaku dan Berkata jujur
Seorang pendidik harus bersifat jujur kepada peserta didiknya
sebagaimana yang ditunjukkan oleh Nabi
Saw. dalam hadis berikut.
عَنْ عُمَرَبْنِ الْخَطَّابِ ... قَالَ فَأَخْبِرْ نِي عَنِ السَّا
عَةِ قَالَ مَا المَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلُ ...
Umar bin Al-khaththab meriwayatkan, “… Jibril berkata lagi,
‘Beritahukan kepadaku tentang hari kiamat. ‘Rasulullah menjawab, ‘Tentang
masalah ini,saya tidak lebih tahu dari engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam
hadis di atas dikatakan bahwa ketika Nabi Saw. ditanya oleh Malaikat Jibril
tentang hari kiamat, beliau menjawab, “Saya tidak lebih tahu daripada engkau.”
Beliau tidak mentang-mentang sebagai
Rasulullah lalu menjawab semua yang ditanyakam kepadanya. Beliau tidak
sgan-segan mengatakan tidak tahu, apabila yang ditanyakan seseorang memang
tidak diketahui jawabannya. Inilah sifat yang harus dimiliki ole setiap
pendidik.
Seorang
ilmuwan, guru, dan pendidik harus bersifat jujur dan terbuka. Apabila ditanya
seseorang tentang suatu hal yang tidak diketahuinya, ia harus berani mengatakan
tidak tahu. Jangan bergaya serba tahu. Jangan mengada-ada untul menjaga gengsi
kilmuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar